Mungkinkah Pemilu di Indonesia Menggunakan Teknologi Blockchain ?
Pemilu merupakan perangkat penting bagi pemerintahan demokrasi. Jika bukan karena voting, konsep negara bebas tidak akan pernah ada. Namun ini benar-benar menarik dan mengejutkan bahwa kita masih belum beralih dari sistem pemungutan suara dengan menggunakan kertas.
Sistem pemungutan suara dengan kertas banyak digunakan negara di seluruh dunia. Konsepnya simpel, dengan melakukan pemberian suara dalam selembar kertas lalu memasukannya ke dalam kotak suara. Pada akhir waktu pemilihan, suara dihitung dan siapapun yang mendapat suara terbanyak adalah pemenangnya. Namun, tidak sesederhana kedengarannya, ada banyak masalah yang dapat terjadi karena sistem pemungutan suara kertas tradisional.
Di masa depan pemilu dapat dilakukan secara daring, tanpa khawatir terjadi peretasan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu lagi mencetak surat suara, menyiapkan tempat pemungutan suara, dan sebagainya yang membutuhkan dana besar.
Bayangkan saja, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkirakan Pilkada 2018 menelan dana 16 triliun rupiah. Sedangkan Pemilu 2019 yang terdiri atas pemilihan legislatif dan presiden diperkirakan memerlukan sekitar 24,8 triliun rupiah.
Selain mahal pemilu model manual masih dibayangi dengan kecurangan pada proses pendataan suara yang dilakukan berjenjang. Dengan berbasis teknologi blockchain, hasil pemungutan suara diamankan dengan algoritma kripto yang diklaim transparan, bebas serangan siber.
Pada umumnya, memang semua industri baik finansial maupun non finansial dapat menggunakan dan mengaplikasikan teknologi ini untuk merekam semua data dalam sebuah sistem yang aman bahkan dapat menyimpan data yang sama dalam banyak server sekaligus. Nah sekarang apakah Indonesia bisa menggunakan teknologi blockchain untuk membantu segala bentuk kesalahan dan kecurangan data pada pemilu di periode kedepan?
Dosen Universitas Telkom, Dr. Dody Qori Utama mengatakan bahwa dengan belum meratanya beberapa infrastruktur untuk menunjang keberlangsungan penggunaan teknologi blockchain di Indonesia, juga masih banyaknya masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya siap untuk menerima teknologi ini, masyarakat juga masih mudah terbawa arus liar (hoax) dengan beragam informasi yang salah dan kesimpangsiuran data tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu.
"Walaupun sekarang teknologi sudah ada dan kuat, karena kemampuannya yang immutable dan distributed, tetap saja di Indonesia, TIDAK BISA karena infrastruktur yang belum rata masih jadi masalah. Tapi bukan itu permasalahan utamanya, namun karena manusianya dan SDM negara kita yang masih rendah. Indonesia adalah salah satu negara dengan kemampuan literasi yang sangat rendah. Termasuk yang terendah di dunia. Efeknya, warga kita mudah termakan hoax, menerima informasi tidak dicerna dengan baik dan dalam langsung menyebarkannya dengan bermoda asumsi dan kesoktahuan tanpa mencari tahu data dengan fakta", komentar Qori kepada Chainsight yang juga pegiat Bioteknologi dan Artificial Inteligence.
Sementara itu CTO Kendi.io sekaligus Sekjen Asosiasi Blockchain Indonesia (A-B-I), Pandu Sastrowardoyo mengatakan, jika sistem pemilihan umum di Indonesia tidak menggunakan blockchain, maka dikhawatirkan timbulnya presepsi ganda akan perhitungan data yang masuk kedalam tabulasi perhitungan suara.
“Intinya kalau memang tanpa blockchain database yang memang banyak competing interest itu bakal banyak tuduhan-tuduhan kecurangan”, ujar Pandu.
Blockchain pada pemilu Indonesia merupakan solusi dalam menghindari kesalahpahaman, kecurangan hingga perselisihan atas data yang sudah dipermainkan, sehingga akan membahayakan pada periode kedepannya. Pandu menyarankan agar database yang ada sekarang haruslah terdesentralisasi, sehingga tidak muncul perbedaan yang merugikan. Tetapi bukan berarti databasenya turut digantikan sehingga meninggalkan model kertas yang sudah ada.
Pandu pun tidak menyarankan menggunakan Electronic Voting atau E-Voting yang mungkin saja dapat dilakukan sebagai solusi aplikatif seperti yang sudah digencar-gencarkan oleh pemerintah Indonesia. Hanya saja jika memang menggunakan e-voting maka tabulasinya harus menggunakan sistem blockchain. Itu juga hanya penggunaan 10-20% di sisi Core Systemnya saja dan tidak melibatkan End to End System seperti yang marak digembor-gemborkan saat ini.
“Blockchain itu solusi yang aplikatif bila Indonesia menerapkan e-voting seperti yang pernah dicanangkan sebelumnya oleh pemerintah. Tapi kalau sekarang nyoblos dengan kertas, jangan jadi pindah ke evoting total hanya untuk menerapkan Blockchainnya saja. Kalau harus ke Electronic Voting maka harus pake Blockchain di sisi Core System-nya, karena pada dasarnya, kalau pakai kertas juga bagus banget, karena bukti2 sahihnya tersimpan dalam bentuk fisik. Namun, dari sisi untuk mentabulasinya, daripada memggunakan tabulasi elektronik dengan menggunakan database standar sekrang seperti SAP dan Oracle, ga menggunakan blockchain, juga keraguan akan timbul. Jadi lebih baik menggunakan blockchain di sisi Core System, dan kertas untuk merekap suara di TPS", tutup Pandu.